Selasa, 02 September 2008

Sekilas Trenggalek (Bag. 2)

PADA prasasti Kamulan bertarikh 31 Agustus 1194, Trenggalek mempunyai makna terang ing galih (terang di hati). Namun, di masa Orde Baru nama tersebut dipelesetkan menjadi terang enggone wong elek (pasti tempatnya orang jelek). Artinya, Trenggalek merupakan tempat "pembuangan" aparat yang dinilai punya reputasi jelek. Sebutan ini muncul, mungkin karena dikaitkan dengan lambannya pelaksanaan pembangunan di kabupaten ini dibanding dengan kabupaten lainnya di Jawa Timur. Baru sejak tahun 1998, pendapatan per kapita penduduk kabupaten ini menembus angka satu juta rupiah per tahun. Tahun 1999, misalnya, pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Trenggalek per tahun mencapai angka Rp 1,3 juta. Tetapi, angka itu pun masih di bawah rata-rata pendapatan per kapita Provinsi Jawa Timur yang besarnya Rp 3,9 juta per tahun. Selain itu, sampai tahun 1999, total kegiatan ekonomi di kabupaten ini masih di bawah satu trilyun rupiah.

Jika dilihat dari kondisi geografis daerah ini, rendahnya angka pendapatan per kapita penduduknya mungkin dapat dimaklumi. Sebagian besar dari wilayah Trenggalek, (sekitar 70 persen) merupakan pegunungan berbukit dan berbatu dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Setiap tahunnya, daerah ini mengalami kekeringan dan kesulitan air bersih.

Pada tahun 1991 umpamanya, selama hampir sembilan bulan penduduk Trenggalek mengalami kekeringan. Dan, setiap kali musim kemarau tiba, lebih dari separuh lahan sawah tidak bisa digarap. Penduduk menjadi pengangguran dan sebagian pergi ke kota menjadi buruh kasar.

WALAU sering mengalami kekeringan, ada juga yang dapat dibanggakan dari kabupaten ini. Trenggalek merupakan produsen cengkeh terbesar di Jawa Timur dan menjadi salah satu pemasok kebutuhan cengkeh bagi pabrik rokok di Jawa Timur, seperti Surabaya, Kediri, Malang, dan Tulungagung. Bahkan Trenggalek pernah meraih penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha dari Presiden Soeharto karena berhasil mengembangkan cengkeh.

Sektor pertanian dengan tanaman cengkeh dan kelapa memang merupakan andalan kabupaten ini. Pada tahun 1999, sektor ini mampu menyumbang sekitar 35 persen dari total produk domestik regional bruto (PDRB) atau sekitar Rp 320,5 milyar.Cengkeh diperkenalkan di Trenggalek pada masa pemerintahan Bupati Soetran di awal tahun 1970-an dan mengalami booming pada tahun 1975-1990. Pada masa itu, luas areal cengkeh di Trenggalek mencapai sekitar 6.000 hektar dengan rata-rata produksi 4.000-5.000 ton per tahun.

Sayangnya, sejak diberlakukannya Tata Niaga Cengkeh (TNC) di bawah Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) periode tahun 1991-1998, luas areal dan produksi cengkeh di kabupaten ini mengalami penurunan. Pada periode itu terjadi pembabatan besar-besaran pohon cengkeh akibat serangan penyakit bakteri pembuluh kayu cengkeh (BPKC) dan rendahnya harga pembelian cengkeh di tingkat petani, sehingga pasokan menurun.

Setelah BPPC dihapus, tahun 1999 luas areal cengkeh tinggal 2.787 hektar dengan jumlah produksi 1.881 ton per tahun. Berkurangnya lahan cengkeh ini juga berimbas pada berkurangnya pendapatan penduduk, sehingga banyak yang beralih pada jenis pekerjaan lainnya. Namun demikian, dengan kondisi produksi yang menurun, Trenggalek tetap menjadi pemasok kebutuhan cengkeh terbesar di Jawa Timur.

Selain cengkeh, Trenggalek juga menghasilkan kopi. Di Kecamatan Bendungan, misalnya, terdapat perkebunan kopi seluas 360 hektar peninggalan Belanda yang sudah beroperasi sejak tahun 1949. Namanya, Perkebunan Dillem Willis. Sejak tahun 1991, perkebunan di kaki Gunung Willis ini, dikelola oleh Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Pemda Sejahtera. Pada awalnya, perkebunan itu memang diperuntukkan bagi tanaman kopi saja. Namun, setelah tanaman kopi diremajakan, perkebunan itu juga dimanfaatkan untuk pengembangan cengkeh dan ternak sapi perah, di samping juga berpotensi untuk tanaman jeruk, jambu, jahe, apel, kubis, dan wortel.

Dengan luas lahan 618 hektar, produksi kopi Trenggalek pada tahun 1999 mencapai 136 ton. Selain cengkeh dan kopi, Trenggalek juga terkenal dengan makanan gaplek. Produksi tanaman ubi kayu di wilayah itu cukup berlimpah. Hasil tanaman itu menjadi bahan makanan alternatif utama jika kemarau mendera. Untuk menggairahkan denyut perekonomian, daerah ini mulai mengembangkan alternatif tanaman perkebunan lainnya untuk tujuan ekspor seperti jamur, salak, durian, dan manggis.

POSISI Trenggalek, yang berada di Jawa Timur bagian selatan dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, ternyata juga menyimpan potensi wisata bahari bagi penduduk di sekitarnya. Sebagai daerah yang termasuk dalam deretan pantai pesisir selatan Jawa Timur, Pantai Prigi di kabupaten ini baru dimanfaatkan oleh penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan saja. Sayang, penangkapan ikan di pantai ini masih dilakukan secara sederhana, yaitu menggunakan jaring yang ditarik puluhan nelayan setelah dibenam selama berjam-jam. Sedangkan dalam hal pemasaran, sistem bagi hasil yang berlaku pun tidak menguntungkan nelayan, sehingga kehidupan nelayan tetap saja miskin.

Untuk memacu pembangunan daerah, Trenggalek yang pada tahun 2001 ini memasuki usia ke-807, membutuhkan fasilitas pendukung air bersih, jalan, dan pelabuhan. Menurut rencana, pada tahun 2001, di Trenggalek tepatnya di Pantai Prigi, akan dibangun pelabuhan ekspor hasil perikanan Jawa Timur, dengan dukungan dana sekitar Rp 120 milyar yang diperoleh dar APBN. Pelabuhan ini diharapkan dapat membantu mengangkat potensi perikanan dan kehidupan nelayan miskin di sepanjang pantai selatan, tidak saja bagi nelayan Kabupaten Trenggalek.